Sabtu, November 26, 2005

Low Trust Society

Rhenald Kasali (Pengajar Program MM dan Pascasarjana UI)

Saya baru saja memeriksa ujian mahasiswa saya. Ketika akan
menyerahkan nilai akhir mereka, saya terpaksa menoleh kepada
berita acara ujian yang mencantumkan nama beserta tanda tangan
mereka masing-masing. Astaga. Tak ada satu pun nama yangdapat saya
kenali dari tanda tangannya. Hal ini mengingatkan
saya pada peristiwa unik yang saya alami hampir tujuh tahun
silam ketika baru saja memulaiprogram doktoral saya di Amerika Serikat.

Baru tiba beberapa hari, adviser saya menyuruh saya
membuka bank account di bank mana saja di kota itu. Saya pun
menurutinya. Maklum,tanpa punya bukucek, hidup di Amerika akan terasa
sulit. Hampir semua transaksi
dilakukan melalui pos. Bayar listrik, telepon, air, tagihan
kartu kredit, beli buku, bayar pajak, kena tiketlalu lintas (tilang),
sampai bayar uang sekolah. Semuanya
menggunakan cek.
Tanpa cek, hidup di Amerika kok rasanya susah sekali.

Setelah punya bank account dan mulai berbelanja dengan
menggunakan cek, ternyata saya pun mengalami kesulitan.
Pasalnya, petugas bank memanggil saya karena mengalami
kesulitan membaca tanda tangan saya. Saya mencoba
menjelaskannya bahwa itu benar tanda tangan milik saya, dan
sayamelakukannya kembali di depan petugas itu. Petugas tetap
menolak dan mengatakan itu bukan tandatangan. Kalau bukan tanda tangan
lantas apa? "Itu urek-urek!"
ujarnya sambil tersenyum. Sejak itu saya pun mulai berlatih
membuat tanda tangan baru,yaitu tanda tanganyang namanya mudah
teridentifikasi. Maka, sejak saat itu saya
mulai terbiasamemiliki dua jenis tanda tangan. Saya menyebutnya satu tanda
tangan lokal (yang dikatakan urek-urek tadi) dan satu lagi
tanda tangan Amerika.
Kalau Anda pernah hadir dalam seminar saya dan meminta
saya menandatangani buku saya yang Anda baru beli, Anda pasti
ingat bahwa saya selalu mengatakanitu adalah tanda tangan Amerika: mudah
dibaca dan
diidentifikasi. Ada juga pembacayang minta dua-duanya, dan ada kalanya
saya pun meluluskannya.
Tanda tangan lokal itu biasanya
hanya saya gunakan untuk urusan bank dan menandatangani
transkrip nilai mahasiswa.
Dalam salah satu seminar saya pernah meminta agar para
peserta menggoreskan tanda tangannya di atas kertas dan meminta
rekan disebelahnya yang baru dikenalnya mengenali nama mereka.
Ternyata tak banyak di antara mereka yang dapat mengenali nama
orang dari tanda tangannya. Ketika ditanya mengapa mereka
membuat tanda tangan seruwet itu, semuanya menjawab bak koor:
"Biar tidak mudah ditiru orang lain."
Mengapa kita semua melakukan hal yang sama? Mudah ditebak
jawabnya. Sejak kecil kita telah diajari orang-orang tua dan
guru-guru kita agar tidak mudah percaya pada orang lain.
"Buatlah tanda tangan yang tidak mudah ditiru agar jangansampai
dipalsukan orang lain." Kita menurutinya, dan tanpa kita
sadari roh-roh ketidakpercayaan ini sudah melekat dalam pikiran
kita.
"Trust," kata Francis Fukuyama, adalah "the social virtues and
the creation of prosperity." Rasa percaya adalah suatu ikatan
sosial yang penting untuk menciptakan kemakmuran. Kalau tidak
ada rasa percaya, mestinya tidak ada bisnis.Bagaimana mungkin kita
berbinsis dengan orang yang tidak kita
percaya?
Rasa percaya itu pula yang akan menentukan bangunan organisasi
perusahaan Saudara. Makin rendah rasa percaya kita terhadap
orang lain, makin banyak pula kita melibatkan sanak saudara
kita, teman sealmamater,sesuku dan sebagainya terlibat dalam
bisnis kita. Kita makin menutup pintu bagi orang lain,dan akibatnya
potensi kita untuk menjadi besar akan terhambat.
Pengalaman lainnya yang saya dapatkan di Amerika barangkali
dapat menjelaskan betapa berbedanya tingkat rasa percaya.
Menjelang pulang ke tanah air, setelah menyelesaikan program
studi, saya pun melakukan moving sale melego barang-barang yang
nilai bukunya masih cukup tinggi. Misalnya saja ada sebuah dishwasher
(mesin pencuci piring) elektrik yang usianya baru tiga
tahun dan nilainya masih cukup tinggi namun harus dilepas
dengan harga yang sangat murah. Pembelinya tentu saja
masyarakat komunitas tempat tinggal kami, yang umumnya adalah
keluarga muda atau para mahasiswa asing yang dari mancanegara.
Kalau calon pembelinya datang dari negara-negara
seperti Rusia, Yugoslavia, Ceko, Turki, Portugal, Brazil, Irak,
Pakistan, India, atau negara-negara Afrika, biasanya transaksi
berjalan tersendat-sendat. Mereka umumnya tidak percayaterhadap kualitas
mesin (apakah masih tetap baik) dan harga yang
ditawarkan.

Mereka mengutak-atik mesin, menghabiskan waktu berjam-jam,
mengajukan pertanyaan, lalu menawar di bawah separo dari hargayang
ditawarkan. Prosesnya sama seperti Anda menawar harga
sepasang sepatu di pasar Senen atau pasar lainnya di Indonesia.
Dan akhirnya pun dapat diterka: tidak ada transaksi.
Hal yang berbeda dialami kalau pembelinya berasal dari
negara-negara yang barangkali dapat kita sebut sebagai high
trust society, seperti Amerika, Inggris, Finlandia, bahkanJepang yang
rata-rata sudah lebih makmur hidupnya.

Mereka cuma bertanya tiga hal:
mengapa dijual, apakah ada kerusakan, dan berapa harganya.
Kalau mereka suka, mereka tidak menawar, langsung angkat. Dalam
kepala mereka, kalau barang ini rusak maka mereka akan
kembalikan segera. Mereka percaya bahwa orang lain dapat
dipercaya, dan kalau mereka menipu mereka akan ditangkap
polisi, diadili, dan dijatuhi hukuman.
Pembaca, apakah implikasi melakukan kegiatan bisnis di
sebuah low trust society?

Mudah-mudahan Saudara sudah dapat menangkapnya: jangan
langsung melakukan transaksi. Selalu mulailah dengan membangun
rasan percaya dari lawan-lawan bisnis Anda. Jangan sesekali
melakukan penawaran kalau lawan bisnis Anda disini belum mengenal betul
Anda. Kalau ada jalan pintas yang
dapat ditawarkan, barangkali cuma satu ini: carilah jembatan
melalui orang-orang yang sudah dikenal dandipercaya oleh lawan bisnis
Anda. Tanpa itu, Anda cuma melakukan
upaya sia-sia.

Selebihnya marilah kita serahkan kepada partai-partai
baru yang akan memimpin bangsa ini kelak (kalau ada) untuk
membangun bangsa ini ketingkatan rasa percaya yang lebihtinggi. Kelak
anak-anak kita akan membuat tanda tangan
yang namanya dapat dibaca oleh orang lain.

1 komentar:

Tulus Subardjono mengatakan...

Artikel bagus
Biar lama tapi tetap bermanfaat, tambahan untuk bahan ngajar deh, makasih.
Memang Bung, kita harus bangun trush