Rabu, Juni 16, 2004

Manajemen Perubahan (4)


Manajemen Perubahan (4)
Oleh: Rhenald Kasali

Banyak pembaca yang bertanya mengapa tokoh-tokoh yang menciptakan
perubahan, hampir semuanya berakhir dengan kematian. Riset-riset dalam
topik manajemen dan strategi memang banyak menemukan “change makers”
dengan karakter “Abraham Lincoln”, “Marthin Luther King”, atau “Mohandes
Karomchand Gandhi”. Ketiga tokoh ini memang mengalami kematian yang
menyesakkan: ditembak oleh orang yang tak menyukai perubahan. Lincoln
tewas ditembak oleh orang yang tak menghendaki perbudakkan dihapuskan;
Gandhi dibunuh Nathuram Godse, seorang tokoh garis keras yang tak
menghendaki kedamaian yang digalangnya (Godse menghendaki agar India terus
berperang dengan kaum Muslim yang menghendaki kemerdekaan di Pakistan);
dan King dibunuh oleh James Earl Ray, tokoh kulit putih yang tak
menghendaki penghapusan diskriminasi rasial.
Mengapa mereka harus ditembak secara keji? Mengapa hidup mereka harus
dirampas oleh orang-orang yang tak bisa menghidupkannya kembali? Beberapa
literatur menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang
terprogram. Seperti sebuah perangkat komputer, isi kepalanya sudah
diprogram sedemikian rupa sehingga ia bergerak secara teratur dari hari ke
hari, membentuk semacam kebiasaan. Pada suatu ketika, kebiasaan-kebiasaan
itu akan menimbulkan kenyamanan dan kita pun diselimuti oleh semacam
“security blanket” yang akan membuat kita naik pitam bila selimut itu
diambil orang. Dengan kata lain, manusia memiliki keengganan untuk
berubah.
Riset-riset lainnya belakangan ini menemukan sesuatu yang sedikit berbeda.
Katanya, bukan keengganan yang ada pada manusia dalam perubahan. Manusia
bisa saja menerima perubahan sekalipun kecepatan menerima setiap orang
berbeda-beda. Yang terjadi sesungguhnya, manusia itu enggan “dirubah”,
bukan enggan “berubah”. Dalam konteks manajemen perubahan, seorang
pemimpin harus bertindak tak ubahnya sebagai seorang seniman profesional,
yang menggunakan bel perubahan seakan-akan bukan berasal dari dirinya,
melainkan dari orang-orang yang akan mengerjakan perubahan itu sendiri.
Bel ini disebut “a wake up call”, yaitu bel yang membangunkan yang kita
set sendiri, yang begitu berbunyi membuat kita kesal, namun juga
berterimakasih. Kita bangkit dari tidur sekalipun malas dan kantuk masih
melekat.
Marzuki Usman yang pernah mendapat julukan sebagai “Man of the year” di
masa lalu karena berhasil menggairahkan bursa saham Indonesia,
menceritakan pada saya bagaimana ia merubah bursa. “Saya datang dan
mengumpulkan mereka. Selama bekerja sepuluh tahun di sini saudara-saudara
pasti pernah berujar dalam hati dengan awal kalimat ‘seandainya …..,
maka…….’. Coba sekarang ungkapkanlah seandainya itu.” Setelah semua
berbicara, beberapa hari kemudian ia menemui mereka dan mengatakan telah
mendengarkan saran-saran dan pikiran mereka semua, dan inilah yang harus
dikerjakan bersama. Marzuki lalu mengajak mereka merubah itu bersama-sama.
Dengan demikian manusia tidak dipaksa berubah, melainkan menggunakan
perubahan sebagai “a wake up call” yang disetel sendiri oleh
pelaku-pelakunya. Suka atau tidak suka mereka harus menjalankannya. Dan
karena menyetel sendiri maka mereka merasa kendali ada di diri mereka.
Tentu saja tidak semua perubahan seperti ini berakhir dengan sukses.
Adakalanya Anda dipaksa merubah sesuatu yang sifatnya sangat mendasar dan
tak ada cara lain selain melakukannya dengan penuh pengorbanan. Kata
orang-orang Korea, kalau tak ada yang mau berkorban tak akan ada
perubahan. Tetapi ini masih belum cukup. Dibutuhkan semacam karakter untuk
memimpin perubahan. Karakter itu sering disebut-sebut sebagai “Lincoln
type”, yaitu kejujuran, rendah hati, cinta kasih, disiplin diri, dan
keberanian yang teguh dalam menghadapi fakta-fakta brutal yang bisa
merusak kehidupan. King dan Gandhi disebut-sebut memiliki karakter itu.
Dalam buku yang ditulis oleh Coleen Degnan-Veness, disebut-sebut bahwa
King sangat terinspirasi oleh Gandhi. Remajanya, King adalah pemuda
pemarah yang tidak mudah menerima perbedaan. Apalagi setelah menjadi juara
pidato di Georgia saat berusia 15 tahun. Sepulang dari Georgia, di dalam
bus ia dipaksa oleh pengemudinya untuk memberikan kursi yang didudukinya
pada pria kulit putih. King mengamuk sampai terjadi keributan. Tetapi
sifatnya berubah setelah gurunya bercerita tentang Gandhi yang memimpin
dengan cinta kasih. Gandhi menyatakan setiap orang harus mencintai
musuh-musuhnya. Sesaat setelah itu, King mengalami musibah. Ia ditodong
dengan senjata oleh seorang pria kulit putih yang marah-marah. King
menyambutnya dengan kalem dan melihat mata orang itu. Setelah itu mereka
bahkan menjadi sahabat, pria itu meminta maaf.
Karakter yang disebut di atas bertentangan dengan ciri-ciri lain yang
sedang marak di sini, yaitu kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak
memimpin dengan karakter, melainkan kekuasaan, uang, keserakahan, politik
dan prilaku-prilaku populis. Kalau sesuatu yang negatif telah terjadi, ia
akan selalu mencari pihak-pihak yang dapat dipersalahkan. Ia mengambil
tindakan-tindakan populis yang disukai publik, terlepas baik atau buruk
efek yang ditimbulkannya. Mereka ini sering memberikan jargon seperti
“sekolah gratis” (bukan sekolah berkualitas). Yang penting bagi mereka
adalah disukai banyak orang, bukan dihormati karena karakternya.
Karakter tidak dapat diperoleh dalam sekejap. Anda mulanya bisa kurang
disukai karena mengubah hal-hal yang tidak biasa tetapi ada keyakinan
bahwa sebagian orang melihat kebenaran itu dan mereka mendorong Anda untuk
terus maju. Karakter seperti sebuah magnet yang punya daya tarik yang
besar yang tumbuh perlahan-lahan sampai suatu ketika menimbulkan daya yang
luar biasa.

Tidak ada komentar: