Rabu, Juni 16, 2004

Manajemen Perubahan (2)

Manajemen Perubahan (2)
Oleh: Rhenald Kasali

Sebuah perubahan, baru akan terjadi kalau suatu komunitas benar-benar
menghendakinya. Dengan kata lain ada kebutuhan yang mendesak untuk
berubah, berupa rasa tidak puas terhadap kondisi sekarang. Itupun masih
harus ditambah unsur lainnya yaitu adanya pemimpin yang mempunyai visi
yang jelas dan dimengerti, serta proses yang jelas pula. Untuk itulah kita
sangat memerlukan pemimpin, bukan pekerja biasa, atau sekedar seorang
manajer biasa yang menjaga sistem. Pemimpin identik dengan perubahan, dan
perubahan identik dengan resiko.
Kata Lady Astor, “Bahaya terbesar dalam hidup ini dialami oleh orang-orang
yang merubah banyak hal, atau yang tidak melakukan apa-apa”. Saya
sependapat dengan Lady Astor. Nabi Muhammad SAW melakukan banyak
perubahan, memperkenalkan Tuhan pada mereka yang masih memuja berhala di
Tanah Arab, menghadapi sejumlah resiko besar dan menghadapi ujian demi
ujian, sampai harus berperang demi kebenaran. Nabi Isa, juga mengalami hal
serupa, pembaharuan yang ia ciptakan berujung pada maut di kayu salib.
Orang-orang besar yang telah menciptakan perubahan umumnya menghadapi
resiko-resiko yang tak kalah mengerikan. Tengoklah apa yang telah dialami
oleh Martin Luther King, Abraham Lincoln, Jitzak Rabin, dan Park Chung
Yee. Semuanya mati tertembak oleh mereka yang tidak menyukai perubahan
yang dilakukan orang-orang itu. King terkenal dengan pidatonya yang
berjudul “I have a dream” yang menyerukan penghapusan diskriminasi rasial.
Lincoln sampai harus berperang melawan “Selatan” yang ingin tetap
mempertahankan perbudakan. Ia ditembak hanya sehari setelah “Selatan”
menyerah. Rabin dibunuh orang Yahudi garis keras yang tidak setuju
terhadap kampanye perdamaian yang ia canangkan bersama “saudara”nya dari
Palestina, Yaser Arafat.
Selain mereka, tokoh-tokoh perubahan lain juga nyaris mati terbunuh.
Mikail Gorbachev nyaris beberapa kali terbunuh, demikian pula Yaser
Arafat, mobilnya pernah diledakkan, dan pesawat yang ditumpanginya pernah
jatuh. Hal serupa juga pernah dialami oleh Bung Karno yang lolos dari
pemboman di Jakarta.
Dalam sejarah manajemen modern, juga ditemui kejadian-kejadian serupa.
Tokoh-tokoh itu dilukiskan oleh Jim Collins dalam bukunya (Good to Great)
sebagai pemimpin tingkat lima yang punya kemauan profesional yang unggul
dan kerendahatian stratejik. Mereka bukan cuma melakukan perubahan,
melainkan menyulutkan api keberanian yang luar biasa dalam menghadapi
”fakta-fakta brutal”. Mereka itu sesungguhnya adalah orang-orang
bersahaja, yang berpikir dan bertindak sederhana, tapi bekerja dengan
integritas. Mereka digambarkan Collins lebih sebagai seekor landak yang
”hanya menggulungkan” dirinya pada saat diserang, ketimbang seekor srigala
yang selalu menyalak dan berputar-putar mencari posisi dalam menerkam
lawannya. Salah satu tokoh yang disebut Collins adalah Colman Mockler, CEO
Gillette (1980-1991) yang tiga kali menghadapi serangan ”take over” dari
Ronald Perelman (Revlon) dan Coniston Partners. Kalau itu terjadi maka
Gillette hilang sudah. Sayangnya, pembelaan Mockler berujung menyedihkan.
Ia adalah seorang yang digambarkan oleh Collins sebagai berwatak Lincoln
yaitu modest, willful, humble, shy, and fearless. Ia adalah seorang yang
takut dengan pemberitaan pers. Maka ketika upayanya menjadi sorotan pers
ia seperti mengalami perang batin, Mockler mati terkena serangan jantung
saat melihat wajahnya dijadikan sampul muka majalah Forbes yang bocorannya
datang sebelum terbit.
Minggu lalu di Bandung saya mengajak Robby Djohan untuk membantu kami
melakukan turn-around di PT. Dirgantara yang katakanlah ”sudah hampir tak
punya apa-apa lagi”, Robby pernah menulis buku berjudul Turn Around dan
terbukti sukses melakukannya di beberapa perusahaan. Ia menyatakan dengan
berani bahwa dirinya tidaklah ”pintar”, tetapi nekad. Tetapi tentu pembaca
percaya bahwa Robby tidaklah bodoh. Simaklah dalam bukunya bagaimana ia
melawan para bankers di Eropa yang telah memperlakukan Garuda semena-mena
dengan kredit yang tidak masuk akalnya.
Robby dan tokoh-tokoh perubahan lainnya mengajarkan satu hal pada kita
tentang pentingnya leadership dalam suatu perubahan. Anda tak perlu
menjadi orang yang sangat cerdas dulu untuk menciptakan perubahan, sebab
adakalanya kecerdasan dapat menghambat keberanian. John C. Maxwell
membedakan orang cerdas ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) sekedar cerdas
dan (2) mereka yang menimbulkan dampak luar biasa. Yang terakhir itu
ditandai oleh orang-orang tipe landak yang menemukan rumus-rumus sederhana
seperti Albert Einstein yang dikenal lewat E=MC2 atau Adam Smith dengan
konsep ”invisible hands”-nya. Rumus mereka begitu sederhana, tetapi dampak
pemikiran yang mereka ciptakan sangat luar biasa.
Tapi keberanian itu baru teruji dalam masa-masa sulit, yaitu masa dimana
seluruh pihak menghendaki sebuah lilin yang menyala di ujung terowongan.
Kata Martin Luther King, ”The ultimate measure of a man is not where he
stands in moments of comfort and convenience, but where he stands at times
of challenge and controversy”. Apakah anda sudah siap menjadi change
makers?

Tidak ada komentar: