Manajemen Perubahan (3)
Oleh: Rhenald Kasali
Terimakasih atas masukan-masukan dan komentar pembaca terhadap serial
tulisan ini. Saya sependapat dengan beberapa komentar yang menggariskan
pernyataan para capres tentang pentingnya perubahan. Namun perlu
ditegaskan yang kita kehendaki bukanlah semata-mata perubahan posisi atau
orang, melainkan perubahan mendasar, mulai dari cara memimpin, arah
pendidikan, kesehatan dan perekonomian, sikap-sikap masyarakat dan
seterusnya. Setiap bangsa besar yang tumbuh selalu ditandai oleh
perubahan-perubahan yang signifikan. Kata Charles Darwin, Bukanlah yang
terkuat yang akan terus hidup, melainkan yang paling adaptif.
Kata adaptif mengandung makna kemampuan menyesuaikan diri pada
lingkungan yang berubah-ubah. Bukan sekedar merespons terhadap perubahan
secara reaktif, melainkan proaktif melakukan tindakan-tindakan
antisipatif. Yaitu menciptakan masa depan yang baru. Jadi, pemimpin bukan
memimpin dengan rutinitas, dengan repeated actions yang diambil
pendahulunya. Justru langkah-langkahnya diambil dengan mengimpikan
sesuatu di masa depan. Pemimpin jaman sekarang harus mulai bekerja
dengan memegang selembar kertas yang polos, bukan kumpulan kertas kerja
yang dibuat pendahulu-pendahulunya. Di atas kertas polos itulah ia harus
menciptakan hal-hal baru untuk mengarahkan bangsa ini ke depan. Jadi,
mulailah dengan memory of the future, bukan from the past.
Singapura adalah contoh bangsa yang mindsetnya adalah perubahan. Ia
berubah setiap saat medan yang dihadapi berubah. Padahal ketika PAP menang
pada tahun 1958, negri ini tak punya apa-apa selain kemiskinan dan konflik
etnik. Lahannya tidak bisa ditanami padi, pantainya tak ada yang bagus,
pendidikannya rendah dan rakyatnya, jorok. Selain itu tokoh-tokoh komunis
masih menguasai PAP. Setelah Singapura merdeka, Lee segera menggariskan
perubahan. Seperti kebanyakan negara berkembang, Singapura juga mengadopsi
strategi industrialisasi, yaitu Import Substitution yang didengungkan PBB
saat itu.
Setelah dicoba beberapa tahun, Lee segera sadar strategi ini kurang tepat.
Pasalnya, untuk menjalankan strategi itu diperlukan pasar yang besar
(skala ekonomis). Maka menjelang awal 1970-an, Singapura menjadi negara
yang agresif menerapkan dirinya sebagai negara perdagangan bebas. Mulanya
ia menggandeng Malaysia untuk memperluas pasar. Tapi Malaysia enggan,
bahkan konfliknya terus menajam. Dengan bantuan profesional dari Belanda,
Lee membangun kembali pelabuhan-pelabuhan yang dulu dibangun Inggris.
Negrinya juga dibikin bersih sehingga orang-orang Barat tidak takut makan
dan minum di negri ini.
Selanjutnya ia merubah lagi. Kali ini upah di negrinya dinaikkan
gila-gilaan. Lee dan penasihat-penasihatnya di EDB menilai, kalau upah di
negrinya tetap rendah maka mereka akan kesulitan bersaing dengan
buruh-buruh migran dari Malaysia dan Indonesia. Dengan meninggikan upah
maka akan terjadi seleksi alam terhadap pabrik-pabrik yang tidak
kompetitif. Mereka dipaksa keluar ke Indonesia, Malaysia, Taiwan dan
sebagainya.
Dengan upah tinggi pula Singapura memungut dana jaminan sosial secara
agresif. Mula-mulanya buruh cuma membayar 5%, dan 5% lagi dibayar pemberi
kerja. Tapi angka ini terus ditingkatkan, menjadi 35%, 40%, lalu 50%.
Kalau pasar domestik sedang lesu, pungutan itu dikendorkan sedikit. Tapi
dengan uang itu Lee bisa membangun infrastruktur yang bagus dan
perusahaan-perusahaan yang kuat seperti Singapore Airlines. Ketika
negara-negara lain berubah, Singapura berubah lagi, memfokuskan diri pada
IT cluster, financial Services dan biotech cluster. Di Era Goh Cok Tong,
pertumbuhan ekonomi sudah tidak setinggi era Lee, tetapi Goh terus
mengkampanyekan perubahan, dan perubahan itu dirasakan manfaatnya oleh
banyak orang. Padahal elite Singapura tidak banyak dan kebebasan sungguh
sangat dibatasi. Di negeri ini orang sudah tidak lagi berbicara tentang
demokrasi, kebebasan berserikat, atau menonton acara televisi yang banyak
impian dan hantu-hantunya atau gosip. Mereka cuma bicara pendidikan anak,
kesehatan, pekerjaan dan jalan-jalan keliling dunia.
Perubahan dan keinginan untuk berubah harus ada di kepala setiap pemimipin
dan masyarakat. Suatu cara kerja hanya cocok dan dapat betul-betul perform
pada suatu masa tertentu. Itulah yang menyebabkan Anda ada di sini. IBM
misalnya, ada karena komputer mainframe-nya. Dulu bisnis ini bagus dan
mereka membuatnya dengan baik. Tapi lama-lama, sekalipun Anda membuatnya
sebagus apapun, pasar sudah tidak menghendakinya lagi. Done it very Well,
but its a wrong thing! Pasar sudah menghendaki PC. Tetapi mengapa IBM
saat itu masih ngotot membuat mainframe dan enggan membuat PC?
Jawabnya tentu bermacam-macam. Banyak orang yang menghadapi perubahan
dengan menyangkal masa depan. Mereka beranggapan cuma cara merekalah yang
benar, dan yang lain salah. Success history mendistorsi peta yang mereka
baca. Orang-orang ini membiarkan dirinya buta terhadap masa depan. Kata
Black dan Gregersen, suatu ketika orang-orang ini akan menjadi fanatik dan
beranggapan apa yang diketahuinya sebagai segala-galanya, dan apa yang
tidak diketahuinya sebagai nothing. Maka habislah masa depan.
Tapi bagaimana dengan orang-orang yang mampu melihat masa depan? Maukah
mereka memasuki sesuatu yang baru dengan gagah berani? Nanti dulu,
bukankah memasuki medan baru selalu ada resikonya. Masalah pertama tadi
Anda telah bergeser dari Do on the right thing, done it very well
menjadi Do on the wrong thing. Sekarang Anda memasuki sesuatu yang baru.
Pertanyaannya adalah, bila kita memasuki the right track apakah kita
langsung bisa perform dengan baik? Tentu saja tidak. Setiap permulaan
pasti sulit dan akan banyak ditemui kendala-kendalanya. Sampai di sini tak
banyak orang yang berani melangkah, kalaupun ada yang berjalan ke sana ia
pasti akan diteriaki dan diejek karena banyak bolong-bolongnya. Ia
mungkin akan ditertawakan, disuruh mundur kembali dan seterusnya. Kalau
ini terus terjadi maka bubar sudah perusahaan atau negri ini. Kita akan
mengerjakan the wrong thing and done it poorly. Terus begitu dari masa
ke masa. Sedangkan mereka yang telah berani mencoba yang baru, kemarin,
sekarang sudah memperbaiki diri, bahkan mulai perform. Mereka kembali ke
semula, yaitu melakukan the right thing dan done it very well.
Itulah sebabnya diperlukan keberanian, konsep yang jelas dan cara kerja
yang efisien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar