Berjalan, berjalan dan hanya berjalan. Mungkin itu satu-satunya
pekerjaan permanen setiap mahluk hidup. Lihat pohon, ia berjalan
mencari
cahaya. Perhatikan binatang, dengan seluruh kekurangannya ia juga
mencari. Tolehlah air di sungai, ia berjalan, berjalan dan hanya
berjalan. Apalagi manusia, tanpa berjalan ia sama dengan mengakhiri
kehidupan. Sebutlah kegiatan berhenti berjalan secara fisik, siapa pun
manusianya pasti lumpuh kemudian. Apalagi berhenti berjalan dalam
kehidupan, ia sama saja dengan bersahabat bersama kebosanan.
Hanya saja, ada manusia yang berjalan dengan mata kering dan kosong.
Apapun yang dilihat dan dilaluinya hanyalah rangkaian benda mati yang
tidak punya arti. Ini yang dialami banyak sahabat yang hidupnya kering
kerontang penuh kebosanan. Ada Ibu rumah tangga yang bosan di rumah.
Ada
pekerja yang sudah muak dengan pekerjaannya. Ada pengusaha yang
'kelaparan' di tengah kekayaannya. Ada sejumlah anak muda yang merasa
tidak punya harapan.
Ada lagi manusia berjalan dengan hobi menyiksa diri. Apa saja yang
dilihat dan dilaluinya, senantiasa hadir sebagai ancaman, hukuman dan
kekurangan. Dan yang paling sakit, siapa lagi kalau bukan kehidupannya
sendiri. Terik matahari berarti panas dan kegerahan. Hujan turun
membawa
akibat batalnya banyak acara. Angin datang dilihat sebagai tanda-tanda
badai yang menakutkan. Senyuman orang lain terlihat mencurigakan.
Setiap
bantuan orang lain dilihat sebagai tali yang menjerat leher kemudian.
Ada juga rangkaian manusia yang senantiasa lapar dan kurang. Prestasi,
kemajuan, sukses adalah bahasa-bahasa keseharian mereka. Kesibukan
adalah kendaraan yang paling disukai. Banyak memang yang bisa dicapai
manusia dalam wilayah kehidupan seperti ini. Sebagian bertemu
kejernihan, sebagian lagi tenggelam gelap gulita oleh ideologi-ideologi
kesuksesan. Seperti ikan yang mati kehausan di dalam air, demikianlah
nasib sebagian orang dalam kelompok ini.
Disamping itu, ada juga manusia yang berjalan dengan sebuah modal murah
meriah: senyuman! Apapun yang terjadi, responnya hanya senyuman. Dikira
gila atau 'lain' oleh lingkungan adalah sebuah konsekuensi yang sudah
diperhitungkan. Ada memang orang yang menyingkirkan dan membuang
orang-orang seperti ini. Cuman, karena ia sudah bersahabat secara
sangat
baik dengan kehidupan, sekali lagi jawabannya hanya senyuman. Hebat
memang bukan kata yang disukai oleh orang-orang sejenis ini. Ia sama
efeknya dengan makian orang yang berulang-ulang.
Adalah hak setiap orang untuk memilih tipologi hidup yang mana. Cuman,
kita manusia tidak punya pilihan lain terkecuali terus berjalan. Dan
dalam aliran kehidupan yang tidak mengenal kamus lain selain berjalan
ini, ada sejenis sungai yang dilalui demikian banyak orang. Ia disebut
kerja. Dengan tidak menggunakan kerangka baik-buruk sebagai kacamata
penglihatan, ada memang orang yang menyebut kerja sebagai kewajiban,
keharusan, dan keterpaksaan.
Dalam kolam-kolam kejernihan, sejumlah sahabat bertutur, "Kerja
sebenarnya sarana terbaik untuk memahami sang hidup." Bahkan ada yang
dengan gagah berani mengemukakan, dalam kerjalah Tuhan mengalami
pengalaman-pengalama n kemanusiaan yang terbaik. Dalam kerja juga,
manusia mengalami pengalaman-pengalama n ketuhanan yang mengagumkan.
Sebab, ketika manusia bekerja, ia mendapatkan serangkaian hal yang jauh
lebih berguna dari sekadar ongkos hidup, atau harta yang diwariskan
kemudian. Melalui kerja manusia bisa menelusuri bagian-bagian sungai
kehidupannya yang lebar dan panjang. Berkendaraan kerja juga manusia
bisa melintasi sejumlah wilayah perawan dalam kehidupan. Dan yang
paling
penting, melalui kerja manusia bisa menyelami rahasia hidup yang paling
dalam.
Coba renungkan dan perhatikan perjalanan-perjalana n kerja manusia.
Entah itu pencari kayu di hutan sampai dengan pejabat tinggi korporasi.
Ketika bekerja, tanpa bisa dihindari, manusia 'bercakap-cakap' dengan
dirinya secara lebih intensif. Kegagalan tidak hanya menghasilkan
kesedihan. Ia juga umpan balik tentang kapasitas diri dalam bingkai
waktu. Kegagalan juga menjadi mesin yang memproduksi kekuatan kemudian.
Tidak jarang terjadi, kegagalan membawa dua hadiah terbaik dalam hidup:
kearifan dan kesabaran.
Keberhasilan memang bertemankan senyuman dan pujian. Tetapi ia juga
yang
mengajarkan bahayanya ego. Keberhasilan yang mengangkat manusia,
keberhasilan juga yang menjatuhkannya secara menyakitkan kemudian. Pada
sebagian manusia, keberhasilan adalah berkah. Dan pada sebagian manusia
lain, keberhasilan adalah hulunya iri dan dengki. Bila demikian
ceritanya, keberhasilan yang diburu banyak orang dalam bekerja,
berwajah
banyak. Ia bisa menjadi berkah, bisa juga menjadi musibah.
Dalam bingkai-bingkai kejernihan seperti ini, layak direnungkan untuk
menempatkan kerja dalam wilayah-wilayah kewajiban dan keterpaksaan.
Kerja sebenarnya sebuah berkah kehidupan yang mengagumkan. Lebih
mengagumkan lagi bila manusia bisa menyelami kedalaman dirinya lewat
kerja, dan pada saat yang sama menyesuaikan irama dengan irama-irama
semesta. Ada irama berupa peran sebagai orang tua, suami, istri,
atasan,
bawahan, atau malah sebagai pencinta Tuhan. Bukankah ideal sekali kalau
manusia bisa menyelami dirinya, dan pada saat yang sama melakukan
peran-perannya secara optimal ? Dan dalam kesadaran seperti itu,
punyakah manusia pilihan lain selain menekuni kerja dengan penuh suka
cita ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar