Oleh: Adhi Nugroho
Pada suatu waktu, ada seorang mahaguru yang
ingin mengambil break dari kehidupannya
sehari-hari sebagai akademisi. Akhirnya dia
memutuskan untuk pergi ke sebuah pantai dan
meminta seorang nelayan untuk membawanya
pergi melaut sampai ke horizon.
Seperempat perjalanan, mahaguru tersebut
bertanya, "Wahai nelayan, apakah Anda
mengenal ilmu geografi?" Sang nelayan
menjawab, "ilmu geografi yang saya ketahui
adalah kalau di laut sudah mulai sering ombak
pasang, maka musim hujan segera akan tiba."
"Nelayan bodoh!" kata mahaguru tersebut.
"Tahukah kamu bahwa dengan tidak menguasai
ilmu geografi kamu sudah kehilangan
seperempat kehidupanmu."
Seperempat perjalanan berikutnya, mahaguru
tersebut bertanya pada nelayan apakah dia
mempelajari ilmu biologi dan sains? Sang
nelayan menjawab bahwailmu biologi yang dia
kenal hanyalah mengetahui jenis ikan apa saja
yang dapat dimakan. "Nelayan bodoh, dengan
tidak menguasai sains kamu sudah kehilangan
seperempat kehidupanmu." Kemudian mahaguru
tersebut bercerita tentang Tuhan yang
menciptakan umat manusia dengan struktur
tubuh, kapasitas otak yang sama, dan lain-
lain.
Selanjutnya mahaguru tersebut bertanya apakah
nelayan tersebut mempelajari matematika? Sang
nelayan menjawab bahwa matematika yang dia
ketahui hanyalah bagaimana cara menimbang
hasil tangkapannya, menghitung biaya yang
sudah dikeluarkannya, dan menjual hasil
tangkapannya agar dapat menghasilkan
keuntungan secukupnya. Lagi-lagi mahaguru
tersebut mengatakan betapa bodohnya sang
nelayan dan dia sudah kehilangan lagi
seperempat kehidupannya.
Kemudian, di perjalanan setelah jauh dari
pantai dan mendekati horizon, mahaguru
tersebut bertanya, "apa artinya awan hitam
yang menggantung di langit?" "Topan badai
akan segera datang, dan akan membuat lautan
menjadi sangat berbahaya." Jawab sang
nelayan. "Apakah bapak bisa berenang?" Tanya
sang nelayan.
Ternyata sang mahaguru tersebut tidak bisa
berenang. Sang nelayan kemudian berkata,
"Saya boleh saja kehilangan tiga-perempat
kehidupan saya dengan tidak mempelajari tiga
subyek yang tadi diutarakan oleh mahaguru,
tetapi mahaguru akan kehilangan seluruh
kehidupan yang dimiliki."
Kemudian nelayan tersebut meloncat dari
perahu dan berenang ke pantai sedangkan
mahaguru tersebut tenggelam.
Demikian juga dalam kehidupan kita, baik
dalam pekerjaan ataupun pergaulan sehari-
hari. Kadang-kadang kita meremehkan teman,
anak buah ataupun sesama rekan kerja. Kalimat
"tahu apa kamu" atau "si anu tidak tahu apa-
apa" mungkin secara tidak sadar sering kita
ungkapkan ketika sedang membahas sebuah
permasalahan. Padahal, ada kalanya orang lain
lebih mengetahui dan mempunyai kemampuan
spesifik yang dapat mengatasi masalah yang
timbul.
Seorang operator color mixing di pabrik
tekstil atau cat mungkin lebih mengetahui hal-
hal yang bersifat teknis daripada atasannya.
Intinya, orang yang menggeluti bidangnya
sehari-hari bisa dibilang memahami secara
detail apa yang dia kerjakan dibandingkan
orang 'luar' yang hanya tahu 'kulitnya' saja.
Mengenai kondisi dan kompetisi yang terjadi
di pasar, pengetahuan seorang marketing
manager mungkin akan kalah dibandingkan
dengan seorang salesperson atau orang yang
bergerak langsung di lapangan.
Atau sebaliknya, kita sering menganggap remeh
orang baru. Kita menganggap orang baru
tersebut tidak mengetahui secara mendalam
mengenai bisnis yang kita geluti. Padahal,
orang baru tersebut mungkin saja membawa ide-
ide baru yang dapat memberikan terobosan
untuk kemajuan perusahaan.
Sayangnya, kadang kita dibutakan oleh ego,
pengalaman, pangkat dan jabatan kita sehingga
mungkin akan menganggap remeh orang lain yang
pengalaman, posisi atau pendidikannya di
bawah kita. Kita jarang bertanya pada bawahan
kita. Atau pun kalau bertanya, hanya sekedar
basa-basi, pendapat dan masukannya sering
dianggap sebagai angin lalu.
Padahal, kita tidak bisa bergantung pada
kemampuan diri kita sendiri, kita membutuhkan
orang lain. Keberhasilan kita tergantung pada
keberhasilan orang lain. Begitu sebuah
masalah muncul ke permukaan, kita tidak bisa
mengatasinya dengan hanya mengandalkan
kemampuan yang kita miliki. Kita harus
menggabungkan kemampuan kita dengan orang
lain.
Sehingga bila perahu kita tenggelam, kita
masih akan ditolong oleh orang lain yang kita
hargai kemampuannya. Tidak seperti mahaguru
yang akhirnya ditinggalkan di perahu yang
sedang dilanda topan badai dan dibiarkan mati
tenggelam karena tidak menghargai kemampuan
nelayan yang membawanya.
Yang jadi pertanyaan kita sekarang, apakah
kita masih suka bertingkah laku seperti sang
mahaguru? Bila ya, seberapa sering?
Sabtu, November 19, 2005
Lif-energize: Menghargai Perbedaan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar